Halaman

Andika Wiranata

Rabu, 18 Juli 2012

Contoh Naskah Drama

Naskah Drama: “Rambo Sang Hantu Jeruk Purut”

Quantcast
SINOPSIS

Pada suatu ketika terjadilah perang yang dahsyat antara tentara Vietnam melawan seorang tokoh militer yang sangat terkenal dari negeri paman sam yaitu Rambo beserta bala tentaranya.
Di suatu tempat yang lapang tentara Vietnam dan pasukannya bersiap-siap untuk menyerang Rambo dan pasukannya datang dengan menenteng alat perang. Diantara pasukan Rambo ada seorang suster cantik yang genit yang selalu ikut kemanapun Rambo pergi.
Rambo dan pasukannya membawa alat perang gaya baru yaitu nanas dan pisang.
Tidak lama kemudian tentara Vietnam menyerang dan terjadi baku tembak antara pasukan Rambo dan tentara Vietnam. Tentara menembaki pasukan Rambo dengan membabi buta begitu juga dengan pasukan Rambo. Dan akhirnya pasukan Rambo dan tentara Vietnam tewas yang tersisa hanya Rambo, suster dan komandan Vietnam. Saat komandan Vietnam menembak Rambo, Rambo menghindar. Karena kesal komandan mengeluarkan panah saktinya dan melepaskan anak panah, tapi anak panah itu meleset dan mengenai kaki suster. Susterpun meninggal karena kehabisan darah. Karena suster meninggal Rambo marah dan akhirnya membalas dengan menembaki komandan Vietnam hingga tewas, tetapi salah satu pelurunya salah sasaran dan hampir mengenai narator.
Akibat ulah Rambo itu narator menjadi marah, dan dan kemudian narator menembak Rambo hingga tewas.
Beberapa tahun kemudian, di tempat yang sama sebuah stasiun TV swasta mengadakan ULIP yaitu Uji Nyali Perempuan dalam sebuah acara “Setan Dan Hantu Ada Di Sebelah Anda”. Dalam acara yang dibawakan oleh Gus Ani itu ada seorang peserta ULIP yang sangat pemberani namanya xenia.
Pada saat uji nyali berlangsung pada pukul 00.00 terlihat bayangan menghampiri xenia. Ternyata bayangan itu adalah hantu suster. Pukul 02.00 hantu Rambo dating dan terjadilah jumpa fans antara Rambo dan xenia. Di jumpa fans itu xenia mendapat kenang-kenangan dari Rambo berupa tanda tangan dan souvenir dari dunia hantu.
Haripun mulai pagi Rambo dan suster harus kembali ke alamnya. Dan akhirnya xenia berhasil, karena keberhasilannya xenia mendapat hadiah yaitu menginap di kamar mayat RS Dr. Soetomo.
BABAK I
Pada suatu hari terjadilah perang yang sangat dahsyat antara tentara Vietnam melawan seorang tokoh militer yang sangat terkenal dari negeri Paman Sam yaitu Rambo.
Di suatu tempat yang lapang tentara Vietnam keluar terdiri dari satu pleton kompi. Komandan menyiapkan pasukan dengan gagah.

Komandan : Blab la …………. (dalam bahasa Vietnam)
(siap grak angkat senjata)
Komandan : Bagaimna tentara siap bertempur ? oke sekarang cari posisi masing-masing.

Setelah selesai persiapan mereka bersiap mencari posisi perang. Setelah itu datanglah pasukan Rambo dengan batalyon paskas lengkap dengan menenteng berbagai alat perang. (Tari ala militer). Tak ketinggalan suster cantik pun ikut di gondol oleh Rambo.

Rambo : Siap geeeerak ! angkat senjata geeerak!
(Sambil bergerak seraya memeriksa anggota)
Rambo : Untuk perhatian semua istirahat di tempat grak !
Prajurit : Asyik istirahat bisa tidur ni …….
(Sambil bergelimpangan)
Suster : Asyik coi bisa dandan ni !
Rambo : He he gimana ni kok pada tidur ayo bangun ! seru Rambo. Ini lagi suster kok kamu malah betulin baju. Ayo kembali baris.
(Setelah semua kembali Rambo mengulangi aba-aba istirahat sampai betul. Lalu Rambo mulai mengecek peralatan yang mereka bawa)
Rambo : Tentara satu coba tunjukkan apa saja yang kamu bawa (Sambil menuju arah prajurit)
Tentara 1 : Oke ! Komendan. Ini saya membawa sebuah geranat tangan berjenis nanas (Sambil menunjukkan nanas)
Rambo : Apa ini …… kan bukan granat tapi nanas, ayo kamu nyolong dimana ? (Mata Rambo terbelalak lalu senyum)
Tentara 1 : Ini model dan jenis baru komendan. Selain mematikan ini juga mengenyangkan. Ha ha …… (Sambil tertawa)
Rambo : Hush hus tapi betul juga kata lo. Oke kamu bisa bawa satu truk nanti.
Rambo : Tentara dua kamu membawa apa ?

Tentara 2 : Saya bawa senjata paling ampuh, ini komendan.
(sambil menunjukkan pisang)
Rambo : Kamu bawa pisang , emang musuh kita monyet apa ?
Tentara 2 : Ini pisang bukan sembarang pisang, ini pistol jenis terbaru.
Rambo : Kamu ini memang prajurit james bond, banyak akal juga tentaraku.
Tentara 1 : Komendan, apa kita sudah membawa senjata ?
Rambo : Sudah, ini mau saya tunjukkan, Bagaimana …… ?
(Menunjukkan pistol dari uleg sambil tertawa)
Rambo : Sekarang suster cantik, apa yang kamu bawa ?
(Agak genit Rambo mendekat)
Suster : Sebagai akademisi saya sudah persiapkan beberapa keperluan. (Sambil mengeluarkan tas yang berisi alat-alat kecantikan)
Rambo : Wow……ini mau mengobati atau buka salon ?
Suster : Wah … komandan katrok, ini kan metode baru dalam kedokteran komendan.
Rambo : Metode baru gimana ?
(Terheran-heran)
Suster : Begini komendan, apabila ada serdadu terluka saya akan dandan menor dengan begitu serdadu akan terpesona sehingga akan lupa sakitnya gitu ……… komendan. (Agak genit menerangkan tetapi juga serius)
Rambo : Wah gak salah aku pilih suster ini. Oke sekarang semua …. siap gerak !
Prajurit dan para suster mengikuti perintah. Tiba-tiba tentara Vietnam menyerang dengan tembakan. Dor dor tentara Vietnam menembaki Rambo dengan gesit Rambo menghindar.
Vietnam : Sebentar sebentar kok kamu Rambo bisa menghindar dari tembakanku ? (Tanya komendan Vietnam terheran-heran)
Rambo : Tenang tuan kan aku sudah diajari mbah marijan ilmu tanpa bayangan ha…ha….
Vietnam : Tapi aku kemarin juga diberi panah cakra oleh janoko, sekarang terimalah ini.

Komendan itu mengeluarkan panah seraya membidik Rambo. Dengan pontang-panting Rambo menghindar, ternyata panah itu nyasar ke suster dan mengenai kakinya sampai meninggal akibat kehabisan darah. Dengan geram Rambo membalas dengan tembakan membabi buta. Tetapi peluru malah nyasar ke narrator yang ada di belakang panggung.

Narator : Rambo berani beraninya kamu menembaki saya ! puas puas kamu ! Kamu gak tau ya, kalau gak ada saya drama ini gak akan jadi. Sekarang kamu akan saya pecat selamanya.
Rambo : Jangan Bos, nanti saya jadi pengangguran dong !
Narator : Emang gue pikirin, sekarang gue tembak lo “Dor Dor”
Rambo : Ahhhhh ………….. tenang tenang saya akan kembali setelah pesan pesan berikut ini (Sambil sempoyongan)

BABAK II
Beberapa abad kemudian di sebuah acara “Setan dan Hantu ada di sebelah anda”

Dewi : Baik pemirsa kita kembali lagi dalam acara “Setan dan Hantu ada di sebelah anda” Kali ini kami berada di tempat TKP (Tempat Kejadian Perang) tentara Vietnam vs Rambo. Kami akan melakukan ULIP (Uji Nyali Perempuan). Baik disamping saya sudah saya ada peserta ULIP kali ini, nama anda siapa?
Peserta : Xenia !! (Agak genit)
Dewi : Kenapa anda berani mengikuti ULIP dalam episode perdana kali ini ?
Xenia : Karena saya ingin bertemu dengan Rambo !
(Dengan wajah yang bersemangat)
Dewi : Bagaimana anda tau Rambo pernah mati di sini ?
Xenia : Ndeso ndeso masa gus Ani gak tau sich …. Kan Rambo mati di perang vietnam.
Dewi : Ooo, oke kok aku gak dikasih tau ya ama sutradara ! Baiklah …….. kita mulai aja ULIP kali ini, kamu siap ?
Xenia : Siap malah gak sabar ….. !
Dewi : Baiklah xenia kami akan meninggalkan kamu disini tanpa penerangan dan kamu akan kami pantau dengan sinar infra merah yang ada pada kamera. Jika kamu menyerah lambaikan tangan, berteriak maupun lari kamu bergerak kesana jadi kamu bisa selamatkan diri kamu sendiri Oke !!
Xenia : Woww masa aku ditinggal sendiri !! tapi gak apa yang penting ketemu Rambo …… (Agak merinding sambil jalan jalan)

Setelah ditinggal Gus Ani peserta mulai merinding diiringi suara-suara aneh dan tak ketinggalan angina bertiup sepoi menambah suasana mencekam. Tak lama kemudian terlihat bayangan berjalan menghampiri peserta. (Pukul 00.00) (Bersliweran pocong dan kuntilanak menari)

Suster : Hi hi hi ……..
(Sambil ngesot mendekati peserta)
Xenia : Aduh apaan tuh ya ?
(Menggigil ketakutan)
Suster : Mbak mbak tolong rapiin dandanan saya dong !
(Sambil ngasih lipstick pada xenia)
Xenia : Aaaaaaduh mbak …………………
(Sambil memalingkan muka ketakutan, xenia mencoret coret wajah suster)
Suster : Wow makasih mbah ku jadi cantik ni !!
Xenia : Yang beber aja ?!??! (Bengong)

Pukul 02.00 – 05.00
Setelah suster minta bantuan dan dilayani ikhlas oleh xenia gini giliran sang jagoan Rambo unjuk gigi di depan xenia.
Rambo : Ho ho hop hop
(Dengan perkasanya Rambo jalan)
Xenia : Kang Rambo ya ??
(Sambil kecentilan ia bertanya tanpa rasa takut )
Rambo : Iya napa ? Kamu gak takut ma aku ?
(Sambil nunjukin lengannya yang besar)
Suster : Gimana mau takut Rambonya aja kecil gak kayak di film. (Cepet nyaut)
Xenia : Takut sich takut, tapi aku ngefan buanget ma kang Rambo …. Boleh minta tanda tangan kang Rambo ?
Suster : Heh kamu kira ini jumpa fans apa ?! Ini uji nyali tauuuuu. (Mendekat sambil mukul kepala xenia)
Rambo : Boleh tapi jangan tunjukin ke public nanti banyak yang kesini oke !
Xenia : Beeeeeres gitu.
(Sambil tunjukin jempol)
Rambo : Ni udah puas ? apa lagi ?
Xenia : Boleh minta yang lain ?
(Genit dan merinding)
Rambo : Kamu mau dicium ?
Xenia : Diiii dicium ! Hi hi najis lo! Maksudku ku mau souvenir dari dunia lain.
Suster : Kalo gak mau ……… aku aja Rambo!

Pukul 04.00
Rambo : Dasar peserta aneh udah gak takut malah minta yang aneh aneh udah pergi cepet sana! (Dengan sombong menunjuk arah)
Xenia : Yeeee justru kamu yang pergi sana udah jam 04.00 tuh ! (Sambil lihat jam)
Rambo : Sumpe looo ?
Xenia : Ya iyalah masa aku bohong !!!
Rambo : Yo Wes kulo bade wangsul rumiyen ……
(Sambil meninggalkan tempat)
Suster : Woyy coi tunggu aku dong ??!!
(Tiba-tiba suster berdiri ngejar Rambo )
Xenia : Rambonya dari jawa atau amaerika sich ?
(Kebingungan)

Pukul 05.00 Gus Ani datang ke tekape beserta crew menyambangi xenia.
Dewi : Heeeeemmmmmm ………. Selamat pagi ? Bagaimana ada sesuatu yang aneh ?
Xenia : Tidak malah seneng bisa ketemu kang Rambo !
Dewi : Selamat anda sungguh bernyali besar dan sebagai imbalan, kami beri hadiah yaitu menginap 1 minggu penuh di ………… (Tiba tiba dipotong xenia)
Xenia : Amerika, Hongkong, Singapura atooo …..?????
Dewi : Di kamar mayat Rumah Sakit Dr.Sutomo Selamat ……!!
Xenia : Woooowww……
(Tak terasa kepalanya mendaak pening dan jatuh pingsan)
Dewi : Deeeee demikianlah acara hari ini dan sampai jumpa pada kesempatan yang lain!



Tentang Mbah Brata (Biodata Penulis)


a. Nama Lengkap dan Gelar : Drs. Heru Subrata, M.Si.
b. Fakultas/Jurusan : FIP / S-1 PGSD
c. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Surabaya
d. Bidang Keahlian : Bahasa, Seni, dan Komunikasi
e. Alamat/e-mail : Jl. Anggrek Blok C.60 Bohar-Taman Sidoarjo [61257] hrbrata@unesa.ac.id, hrbrata@gmail.com, hrbrata@yahoo.com

Biografi Sastrawan : Putu Wijaya

Putu Wijaya (bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944; umur 65 tahun) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan
puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang Putu.
Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.
Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.
Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.
  Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.
Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu.

Contoh Teks Pidato

Oleh : Andika Wiranata 
Kita Harus Mandiri

Assalamu'alaikum wr.wb.


Yang saya hormati Bapak Prasito selaku Wali Kelas dan Guru Bahasa Indonesia. Juga rekan-rekan yang saya cintai.

Pertama-tama marilah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas curahan rahmat-Nya yang diberikan kepada kita, sehingga pada kesempatan yang baik ini kita dapat berkumpul bersama di tempat yang berbahagia ini.

Rekan-rekan yang saya cintai,
Kita tahu bahwa masa muda masa yang sangat labil. Mudah dipengaruhi oleh banyak faktor baik positif maupun negatif. Biasanya faktor negatiflah yang lebih cepat diserap oleh kawan-kawan kita yang lainnya.
Ini tentu berakibat buruk terhadap kehidupan dimasa yang akan datang.

Bisa kita lihat diberbagai media baik media cetak maupun elektronik, juga dalam kehidupan sehari-hari ini. Tingkah laku mereka sangat tidak terpuji. Ini tentu sangat disayangkan oleh kita yang merasa satu generasi. Mereka ada yang hamil diluar nikah, ada yang ikut geng motor, ada yang bolos sekolah ada yang jadi pecandu narkoba dan lain sebagainya. Sehingga generasi kita tercoreng oleh tingkah segelintir dari generasi muda yang tidak bertanggung jawab.

Rekan-rekan yang saya banggakan,
Kita sebagai generasi muda yang masih diberi kesadaran kiranya untuk selalu saling mengingatkan akan bahaya-bahaya pergaulan bebas di atas, pergaulan negatif di atas.
Jangan sampai kita jadi korban namun kita sendiri tidak merasa bahwa kita jadi korban.

Kiranya sudah bukan saatnya lagi kita mudah tergoda dan terbujuk, bukan saatnya lagi kita tidak punya pendirian. Kita harus menyadari hidup yang sekali ini harus dimanfaatkan secara baik-baik. Jangan sampai kita menyianyiakan masa muda ini yang kemudian menyesal dimasa tua.

Kita harus punya prinsip dalam hidup, kita harus mandiri dan mampu membawa diri sehingga bukan kita yang menjadi korban jaman, bukan kita yang menjadi korban lingkungan. tetapi mari kita menjadi generasi yang justru mampu membawa perubahan bagi masyarakat.

Sebagai generasi muda, banyak potensi yang bisa kita kembangkan. Banyak potensi yang bisa kita optimalkan. Bukan untuk siapa-siapa melainkan untuk kita sendiri.
Untuk kebaikan kita dimasa yang akan datang.

Rekan-rekan dan hadirin yang saya banggakan.
Marilah sudah saatnya kita sebagai generasi muda untuk bangkit dari tidur dan menunjukkan kepada dunia bahwa kita pun mampu. Kita punya sesuatu yang berharga yang patut diperhitungkan. Kita pastikan bahwa kita bukan generasi sampah yang bisanya hanya menjadi beban orang tua dan beban lingkungan.


Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan mulai dari sekarang :

·         Pertama, pertebal iman dan takwa kita kepada Tuhan dan selalu beribadah dan berdoa agar terhindar dari segala efek negatif.
·          Kedua, sekuat tenaga kita belajar yang rajin dan tunjukkan kepada orang tua bahwa kitapun mampu meraih nilai yang terbaik.
·          Ketiga, sekuat tenaga tidak terbawa pengaruh oleh teman-teman kita yang lain yang senangnya membolos karena suatu saat mereka akan merasakan sendiri akibatnya. Bisa jadi anaknya nanti akan seperti mereka, susah di atur dan melawan orang tua sebagaimana yang mereka lakukan saat ini. tentu ini tidak kita harapkan.
·          Keempat, Berapapun kita dikasih ongkos maka sekuat tenaga untuk bisa mengatur sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran. Jangan pernah UNIKO-usaha nipu kolot. Karena ini biang yang membuat kita tidak mendapat berkah dimasa yang akan datang.
·         Kelima, cari teman gaul dan tempat gaul yang positif baik di sekolah maupun di luar sekolah. Pergaulan kita akan membentuk karakter kita secara perlahan.
Sebagai pelajar barangkali empat langkah sederhana ini bisa kita praktekkan mulai saat ini. Kita menentukan nasib kita dimasa depan. Karenanya saya berpesan kepada rekan-rekan semua marilah kita manfaatkan masa muda ini sebaik-baiknya agar masa depan kita cerah.


Demikian yang bisa saya sampaikan. Terima kasih atas perhatiannya. Mohon maaf jika ada salah kata.

Wassalamu'alaikum wr.wb

Pojok Cerpen : Putu Wijaya


Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Cirendeu 1-3-03

Contoh Resensi Cerpen


Resensi Cerpen
Oleh : Andika Wiranata

Judul Cerpen    :  Guru
Penulis Cerpen :  Putu Wijaya
Terbit               :  Minggu, 8 Mei 2005
                                                                 
                Nama I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang bertanggal lahir 11 April 1944 di Puri Anom, Bali atau lebih dikenal dengan Putu Wijaya adalah seorang sastrawan serba bias. Ia sudah menulis 30 novel, 40 naskah drama, 1000 cerpen, dan banyak karya sastra yang ia ciptakan. Pendiri Teater Mandiri ini, cerpennya sering dimuat di Harian Kompas, dan Sinar Harapan, juga novelnya sering dimuat di Majalah Kartini, Femina, dan Horison. Ia juga pernah mendapat anugrah piala citra di FFI. Selain membuat buku, alumni UGM dan mantan redaktur Tempo ini juga menulis scenario film dan sinetron. Dan berbagai undangan dalam dan luar negeri pernah didapatkan untuk mengetahui kemampuan sastrawan serba bisa  ini.
            Dari ribuan, salah satu cerpen buatannya adalah Guru, ini merupakan cerpen yang bagus dan mendidik karena mengangkat tema moral yang mengajarkan kita tentang keteguhan hati seseorang yang tak tergoda oleh apa pun demi mewujudkan impian dan cita-citanya untuk menjadi seorang guru.
            Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak bernama Taksu, dia hidup di kota metropolitan yang cita-citanya bebeda dengan anak lainnya di perkotaan, yaitu menjadi seorang guru. Namun keinginannya ini tak berjalan lancar karena orang tuanya tak setuju, karena orang tuanya beranggapan bahwa pekerjaan seorang guru tidak mempunyai masa depan yang jelas, hidup pas-pasan dengan segala kekurangan. Berbulan-bulan orang tuanya member waktu untuk taksu dapat mengubah pendiriannya, dan mulai dari lap top tercanggih hingga mobil BMW yang bernilai milyaran tak diharaukan untuk mengubah pemikirannya untuk menjadi guru.
            Berbagai konflik ditimbulkkan dalam cerpen ini, mulai dari konflik suami yang takut pada istrinya, konflik hidup mati antara seorang ayah dan anaknya, juga konflik batin,dan banyak konflik lain yang menegangkan. Suami yang takut istri dan selalu disalahkan oleh sang istri karena dianggap salah dalam mendidik anak sehingga sang anak berkeinginan untuk menjadi seorang guru menjadi hal humoris dalam cerpen ini. Cerpen ini di satu sisi seperti senjata makan tuan bagi sang Ayah karena jauh sebelum Taksu berkeinginan menjadi guru, ketika kecil ayahnya bernasehat untuk selalu menghormati guru dan menempel guru kerna guru lah yang menjadi gudan dan sumber ilmu, hal ini lah yang menjadi doktrin atau alasan kuat Taksu untuk menjadi seorang guru.
            Cerpen ini pun ada sedikit bumbu percintaan ketika ayah Taksu memarahi Mina seorang anak guru yang pas-pasan yang merupakan kekasih dari Taksu yang dianggap Ayahnya sebagai biang keladi anaknya ingin mejadi guru. Dan Taksu mengajarkan kita tentang keteguhan hati untuk memperjuangkan hal yang baik, juga mengajarkan kita bahwa tidak semuanya dapat dinilai dan dibeli dengan materi, dan yang tak kalah sangant penting adalah mengajarkan kita tentang betapa mulianya profesi seorang guru, bahkan dalam dialog cerpen tersebut Taksu berkata “Sebab guru tidak bias dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak" ketika Taksu diancam akan dibunuh oleh Ayahnya sendiri, satu polemik yang menegangkan.
            Namun beberapa bagian cerpen ini sungguh tidak menghargai bahkan menganggap profesi guru ini sangat rendah dan menggap materi di atas segalanya. Dan tentu cerpen ini menceritakan kehidupan keluaraga yang kurang komunikasi dan kurang harmonis,orang tua berselisih paham dengan anak dan suami yang begitu lembek dengan istri yang pada akhirnya berontak juga.
            Dan di akhir cerita cerpen ini, Taksu menjadi orang yang sukses menjadi pengusaha importir barang-barang mewah dan eksportir kerajinan tangan dan ikan ke berbagai Negara, dan menjadi guru bagi sekitar 10000 orang pegawainya dan gelar doktor honoris causa menjadi pelengkapnya, saat 10 tahun kemudian, ia menggantikan peran ayahnya memikul beban keluarga. Sungguh akhir yang mungkin tak kan dikira oleh orang tua Taksu sendiri dalam cerpen tersebut.
            Secara keseluruhan, cerpen ini mendidik dan banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari sebuah cerpen Guru ini. Para pembaca pun seakan ikut terbawa dalam konflik-konflik yang ada dalam cerpen ini, dan mungkin beberapa akan terharu karena cerpen ini sungguh dramatical penuh perjuangan unutuk menggapai cita-cita, dan penuh dengan godaan dalam mempejuangkan sesuatu. Akan tetapi, tentu ada kekurangan, yaitu pembaca terlalu banyak disuguhi konflik  di hampir sebagian cerita pendek ini dan baru mereda ketika di akhir-akhir cerita pendek ini.
            Seharusnya, penulis mensisipkan lebih banyak jeda konflik dengan suatu hal yang menyegarkan seperi humor, tidak melulu menyajikan pebedaan pendapat  yang menegangkan di sepanjang cerpen ini dan terus mengangkat cerpen-cerpen bertema yang mendidik seperti ini penuh arti di setiap paragraph cerpen, dan tentu dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh berbagai kalangan sehingga pembaca seakan terbawa oleh alur cerita dari cerpen itu sendiri.