Halaman

Andika Wiranata

Selasa, 17 Juli 2012

Pojok Esai 1

Politik BBM
oleh Andika Wiranata

BBM, tiga huruf yang sangat berpengaruh dalam negeri ini, karena bila ditambahkan kata “naik” sebelum kata tersebut, tentu raut wajah semua orang akan berubah lebih condong emosi dibanding happy. Setelah itu orang-orang akan siap memaki-maki rezim yang ada, sampai-sampai sang penguasa rezim pun merasa terteror keselamatannya. Segitu berbahayakah jika kedua kata itu disandingkan.
Bicara mengenai BBM tidak terlepas soal rezim yang berkuasa saat ini, karena sebelum rezim ini untuk kedua kalinya naik menjadi penguasa lagi, terdapat iklan kampanye yang menyuarakan tentang keberhasilannya menurunkan harga BBM tiga kali berturut-turut, dan dianggap sebagai keberhasilan pemerintahan rezim yang sekarang berusaha melanjutkan ini. Namun saat ini, rezim ini seakan goyah karena mempunyai wacana untuk menaikkan harga BBM, yang sontak memicu reaksi yang keras dari masyarakat, khususnya golongan bawah yang harus semakin memutar otak bagaimana cara mereka melanjutkan kehidupan mereka, karena bila BBM naik, tentu segala hal untuk biaya hidup dimungkinkan akan naik.
Bicara mengenai BBM tentu tidak lepas bicara mengenai subsidi dan BLT. Subsidi yang dikeluarkan pemerintah dinilai keliru dalam beberapa hal diantaranya, yang pertama subsidi tidak produktif, kedua tidak tepat sasaran, yang terakhir tidak ramah lingkungan. Tidak produktif karena jumlah dana yang dikeluarkan oleh pemerintah begitu besar, nampaknya akan lebih bermanfaat bila direlokasikan ke masalah infrastruktur. Tentu dana-dana tersebut lebih berguna untuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terpencil, agar daerah-daerah tersebut bisa lebih mengembangkan potensinya masing-masing.
Selanjutnya, tidak tepat sasaran karena hampir setengahnya dinikmati oleh kaum menengah ke atas, sedangkan hanya sedikit dari kaum menengah ke bawah yang dapat menikmatinya. Lalu yang terakhir tidak ramah lingkungan, dinilai tidak ramah lingkungan karena dengan diberikan subsidi kepada bensin tentu membuat harga bensin menjadi lebih murah, dan membuat industri-industri yang memproduksi  produk-produk dengan menggunakan energi terbarukan atau bukan bensin, menjadi tidak bisa bersaing, karena murahnya harga bensin. Tentu gaung-gaung pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan hanya menjadi seperti angin lalu saja. Semakin banyak polutan akibat pembakaran bensin, contohnya kemacetan di Jakarta, tentu membakar bensin dengan percuma dan sia-sia.
BLT atau Bantuan Langsung Tunai merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah dengan terpaksa menaikkan harga BBM atau mengurangi subsidi, lalu pemerintah mengambil uang dari subsidi yang dikurangi dan memberikan kompensasi ke rakyat miskin selama dua atau tiga bulan. Kebijakan ini dinilai kurang efektif karena hanya bersifat sementara dan jangka pendek. Seharusnya diberikan secara jangka panjang dengan program-program yang dirancang dengan matang, seperti bantuan pendidikan, pinjaman modal usaha, atau dana bantuan kesehatan.
BLT ini sempat dilakukan ketika rezim penguasa jilid pertama akan berakhir, dan banyak orang beranggapan kebijakan ini dilakukan hanya untuk sekadar menarik simpati rakyat terhadap rezim masa itu, karena sudah dekat masa pilpres pada saat itu. Saat ini BBM mungkin tidak dapat lagi dielakkan untuk tidak naik, pasti naik cuma kapan akan diputuskan hanya tinggal menunggu waktu.
Lalu apa yang ditakutkan masyarakat saat ini selain harga sembako dan barang-barang kebutuhan lain akan melonjak? Tentu gelombang aksi penolakkan besar-besaran oleh masyarakat, mahasiswa, ormas-ormas, juga LSM terkait kenaikkan harga BBM tersebut. Ditakutkan tragedi kelam sewaktu rezim orde baru akan terulang kembali. Lalu apa yang dilakukan pemerintah untuk mencegah hal itu? Pemerintah memanggil sejumlah rektor universitas di Indonesia, untuk memaparkan kenapa BBM harus naik dan mungkin agar lebih mudah menyampaikannya ke mahasiswa di universitas di mana rektor itu menjabat.
Penguasa rezim kita juga mengajak sejumlah mahasiswa untuk ikut dalam lawatan sang penguasa ke negeri tirai bambu. Sayangnya, para aktivis mahasiswa tersebut menolak karena menganggap ada udang dibalik batu. Mereka menganggap diajaknya mereka ke tirai bambu, guna meluluhkan hati sejumlah pimpinan aktivis mahasiswa untuk menyetujui naiknya harga BBM.
 Pertimbangan pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah agar anggaran negara tetap bisa mengikuti perkembangan situasi ekonomi dan perekonomian Indonesia tetap sehat, juga karena harga minyak dunia. Mungkin pertanyaan kita sekarang, kenapa harus BBM? Apa tidak ada jalan lain? Mungkin itu yang sekarang ada di benak kita, dan ada perasaan jengkel kenapa rakyat kecil harus semakin menderita dan untuk apa berbicara soal anggaran? Apa anggaran negara kita sedang pailit akibat ulah sejumlah pejabat yang menghambur-hamburkan uang dengan permintaan-permintaan yang irasional juga skandal kasus-kasus korupsi? Apakah harus mengorbankan rakyat kecil? Pertanyaan yang selalu itu-itu saja.
Tulisan ini diharapkan mampu mengarahkan sedikit jawaban kenapa BBM harus naik. Rezim saat ini pun masih belum ketok palu jadi atau tidak jadi harga BBM ini naik. Mereka masih seakan tarik ulur kapan waktu yang pas untuk ketok palu. Seharusnya pemerintah harus segera ambil sikap yang tegas dalam menyikapi kenaikkan harga BBM ini. 
 Semoga kebijakan apa pun yang diambil oleh pemerintah benar-benar ditujukan untuk negara dan juga tentunya untuk rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang yang ingin mementingkan egoismenya semata. Naik atau tidak naiknya harga BBM, kita anggap sebagai keputusan yang paling terbaik untuk bangsa dan negara ini. Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih..