Halaman

Andika Wiranata

Selasa, 17 Juli 2012

Pojok Esai 8


Sastra Cyber
Oleh : Andika Wiranata

Sastra kini sedang mekar-mekarnya bagai bunga di musim semi. Karya sastra dalam berbagai bentuk seperti, puisi, cerpen ataupun esai kini seperti menemukan sebuah ruang publikasi baru. Ruang publikasi yang cepat dan tidak perlu menunggu waktu berhari-hari karena sikap ketat redaktur sastra di media cetak. Sikap ketat tersebut karena mengingat di media cetak  yang halamannya terbatas untuk rubrik tersebut. Sastra cyber kian ramai seiring menjamurnya jejaring sosial di internet seperti facebook, twitter, dan blogger.
Beragam komunitas sastra cyber semakin banyak, sehingga kita akan sedikit kesulitan mengikuti perkembangan dan gerak sastra cyber dewasa ini. Mereka begitu cepat, sejenak saja kita rehat, komunitas sastra yang lain akan bermunculan. Mobilitas karya satra di dunia maya sangat sibuk dan padat. Kesibukan dan kepadatan mobilitas sastra di internet, tidak akan membuat menimbulkan kemacetan publikasi teks sastra tersebut. Namun, yang akan terjadi adalah kesulitan memetakan dan usaha mengikuti laju perkembangan sastra di dunia yang hanya sebesar layar monitor. Pergerakan teks sastra yang dapat menembus budaya dan tempat membuat sastra cyber seperti angin, dapat hadir dimanapun bahkan, di suatu program kecil sekalipun.
Setiap orang sekarang sangat mudah mendirikan komunitas jejaring sosial di atas nama sastra dalam hitungan menit. Bayangkan, banyak sekali komunitas sastra di jejaring sosial seperti di facebook, twitter dan blogger. Orang-orang meras terpanggil untuk ambil bagian dalam komunitas sastra tersebut. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan kemajuan program, bukan rahasia lagi komunitas sastra di dunia maya ikut bergerak dan mengikuti trend dalam jejaring sosialnya. Jika kali ini facebook dan twitter yang sedang booming maka, tidak mengherankan banyak follower sastra atau umat sastra mendirikan komunitas sastra di facebook dan twitter.
Komunitas sastra maya ini mampu menarik perhatian para penulis pemula bahkan, para penulis senior atau tua. Sastra tampil tanpa ada sekat-sekat pembatas. Sekat-sekat yang secara tampilan luar pernah timbul ke permukaan di beberapa daerah misalnya, muncul istilah penyair muda dan penyair tua itu kini hilang seketika. Siapapun kini duduk sama rendah berdiri sama tinggi ketika anda berbicara mengnai sastra. Bahkan, penyair senior pun juga telah punya akun jejaring sosial mereka sendiri.
Setiap orang atau siapapun kini hanya dalam sekejap bisa mempublikasikan karya sastra dan mendapatkan komentar dari orang lain. Mobilitas teks sastra di akun-akun jejaring sosial saja kini bisa dikatakan overload. Umat sastra di jejaring sosial ini cenderung memposisikan diri untuk dikomentari, disapa dan diperhatikan.
Setiap waktu, kita yang bergabung dalam kelompok sastra cyber akan disuguhi beragam karya sastra. Lalu, tidak mengherankan bila di suatu saat yang telah berlalu seseorang bisa disuguhi puluhan bahkan, ratusan teks sastra dalam hitungan detik dan menit. Situasi ini menggiring seseorang untuk bersikap selektif dan dengan sendirinya mengabaikan pihak-pihak lain. Kejenuhan karena kebanjiran teks sastra suatu saat akan membuat orang-orang tersebut menemukan titik jenuh.
Kejenuhan demikian ada karena yang terjadi overload komunitas cyber di akun-akun jejaring sosial entah itu di facebook, twitter, blogger atau jejaring sosial lainnya. Banyak pelaku sastra yang sebenarnya hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Kelahiran teks sastra begitu mudah, tapi mudah juga untuk dilupakan serta, tidak dirawat dan dijaga karena orang sibuk dengan dirinya sendiri.
Komentar orang akan karya sastra yang dipublikasikan di komunitas sastra maya hanya sekadar suka atau tidaknya terhadap karya sastra, bukan mengenai makna apresiasi sastra yang sesungguhnya. Tentu, hal ini di luar dari apa yang diharapkan dari sesorang yang menghasilkan karya sastra dan orang-orang yang memahami benar mengenai sastra yang menggunakan dunia maya dalam mempublikasikan karyanya.
Sastra di dunia maya, sebelum dipublikasikan seharusnya benar-benar dibuat dengan citra rasa sastra yang tinggi agar menjadi sastra yang berkualitas dan diingat orang. Sastra yang dipandang orang adalah sastra yang tercetak dan di buku. Sastra di komunitas sastra seakan hanya luapan narsis seseorang. Parameter sastra tetap diukur dari sikap ketat akan teks sastra. Komunitas-komunitas sastra cyber suatu saat akan manyadari bahwa eksistensi mereka perlu diwujudkan dalam buku atau barang cetak. Komunitas-komunitas sastra maya atau sastra cyber adalah tempat untuk berproses dan belajar menempa diri. Setiap orang yang tergabung boleh masuk, keluar, atau berpindah-pindah ke komunitas-komunitas cyber berbasis sastra tanpa prosedur dan kesulitan besar.
Sastra Cyber bukan tidak mungkin suatu saat bisa menjadi tandingan sastra koran asalkan dikelola dengan baik melalui website-website yang bermutu dan berkualitas. Website-website yang sejajar dengan media cetak atau koran dalam sikap ketat dan penghargaan lebih terhadap karya sastra. Komunitas-komunitas sastra cyber dewasa ini memang memiliki kencenderungan ke arah serius untuk membuat, memiliki serta, mengelola website komunitas sastra dengan baik dan tentunya berkulitas.
Sejauh ini, situs-situs berbasis sastra cenderung tidak dapat bertahan meski telah memberlakukan sikap ketat terhadap teks sastra. Hal ini terjadi karena kurang gigihnya pengelola situs atau website sastra tersebut mencari dukungan dalam bentuk iklan atau sponsor sehingga penghargaan terhadap teks sastra yang lolos seleksi dan terpublikasi terkesan diabaikan. Harapan penulis, sastra di hari esok nanti, sastra cetak dan sastra cyber bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dan keduanya dapat menjadi parameter sastra nusantara apabila sastra cyber melalui website-websitenya dikelola dengan sikap ketat dan memberi penghargaan lebih terhadap karya sastra. Sehingga sastra cyber juga punya tempat yang layak dan apresiasi yang baik sama seperti sastra cetak. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih..