Halaman

Andika Wiranata

Selasa, 17 Juli 2012

Pojok Cerpen : Andika Wiranata

Karena Dia adalah Ayahku
Oleh : Andika Wiranata


“ Banguuunnnn..... Lang..... Elang Banguuunnn ” suara wanita setengah baya dengan halus menyapaku di tengah nyenyaknya tidurku. “ Iya... mama... ” jawabku manja sambil mencari HP dan membuka pesan singkat, “ Bangun sayang.. solat yuuuukkk.... hehe ” isi pesan singkat dari kontak yang bernamakan Latifah yang ternyata mambangunkanku lima belas menit lebih awal dari ibuku. Segera ku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melintasi sebuah ruangan yang ada di dalam rumah kami yang biasa disebut “mushola rumah”, tempat dimana kami sering beribadah berjamaah, ” Cepat Elang... ” pinta ayahku. “ Iya pah.. ” sahutku. Ayah dan ibuku sudah siap dengan baju takwa mereka dengan formasi ayah siap memimpin kami di ibadah pagi ini.  

Kami biasa sarapan pagi bersama, walau terkadang hanya segelas kopi susu yang ku seruput karena perutku agak bermasalah apabila makan berat di pagi hari, dan terkadang harus membuatku beberapa kali memasuki kamar mandi. “ Rotinya gak disentuh, Lang? ” tanya ibuku lembut. “ Gak ah mah, perut Elang suka kontraksi berkali-kali kalau makan yang berat pagi-pagi, buat bekal ke kampus  aja mah, papa aja yang disuruh makan hehehe.. ” jawabku lembut. “ Kamu tuh ada-ada aja, Lang ” sahut ibuku. “ Kuliahmu gimana, Lang? ” tanya ayahku sambil mengoleskan selai ke roti tawarnya. “Alhamdulillah baik pah ” jawabku sambil menambahkan sesendok gula putih ke ramuan kopi susu hangat. “ Kamu kenapa tidak ambil ilmu politik seperti papa? Malah mau jadi guru, ikutin pacarmu itu ya? ” tanya ayahku dengan nada bicara agak sedikit tinggi. “ Gak lah pah, dia aja jurusannya apa, ya Elang mikirnya harus beda lah, biar ada pembanding hehe.. ” jawabku seraya menetralkan suasana. 

Setelah selesai meneguk secangkir kopi susu, aku langsung berpamitan kepada kedua orang tuaku. “ Pah, Mah.. Elang berangkat dulu ya.. ” sambil mencium kedua tangan orang tuaku. “ Gak bareng papa, Lang? ” tanya ayahku. “ Haha.. lucu deh.. papa berangkat jam berapa, Elang masuk kuliah jam berapa.. ”jawabku. “ Yaudah hati-hati ya lang ” jawab ayahku, ketika aku mencium tangan ibuku yang wangi akan kelembutan seorang ibu. “ Assalamualaikum.. ” salamku kepada orang tuaku. “ Waalaikumsalam.. ” jawab mereka. Segera ku menuju bagasi untuk memanaskan motor bebek  keluaran tahun 2004 yang kumiliki sejak ku lulus dari sekolah menengah pertama, dan ku sangat menyayanginya, bagiku dia adalah pacar pertama dan paling setia menemaniku kemana-mana, walau terkadang aku harus mengalah dengan kondisinya saat ini yang sering sakit-sakitan. Ayah pun sudah berkali-kali menawarkanku untuk memilih kendaraan macam apa yang ku inginkan, entah itu “moge” atau mobil impor sekalipun yang sekarang penjualannya sedang meningkat pesat dengan “casing” dan “body” besar tidak cocok dengan kontur jalanan di Jakarta yang terlalu sempit.

Ketika sedang memanaskan pepi, nama motor yang ku punyai ini, terpikir sejenak, kenapa aku tidak mengikuti ayahku untuk mengambil ilmu yang sama seperti waktu kuliah ayahku dulu, aku pun juga sebenaranya tertarik dengan dunia politik, namun panggilan jiwaku ingin menjadi guru. Ya, memang dan tak bisa kupungkiri, ayah adalah sosok yang aku banggakan dan panutan, dia imam untuk seorang istri dan satu anak laki-lakinya, bisa dibilang pria yang sangat ideal dengan paras rupawan, sikap yang wibawa dan berkharisma, dan sangat wajar bila wanita sebaik dan secantik ibuku sangat terpukau dan terpikat oleh mantan ketua BEM Universitas di salah satu perguruan tinggi di daerah Depok itu. Cerita ini  ku dapatkan ketika mereka bercerita tentang masa lalu mereka sambil membuka album foto mereka beberapa hari lalu. Ayah juga selalu memberi wejangan-wejangan yang apik kepadaku mengenai kehidupan, katanya biar aku tidak tersesat. Beliau adalah seorang pria keraton dangan gelar raden di depan namanya, dan sekarang aku pun menyandang pula gelar itu, dan aku cukup senang dengan warisan ini, namun aku selalu merendah ketika ada orang yang bertanya tentang gelar warisan ini, dan enggan dipanggil “Raden” karena aku beranggapan itu gelar dan namaku bukan “Raden”. Setelah cukup panas, aku berangkat ke kampus dan berharap pepi meluncur mulus sampai kampus.

Tekadku, semester empat ini adalah mendapatkan nilai A lebih banyak dibanding semester lalu. Tekadku semakin bulat ketika sesosok wanita yang dua tahun lebih menghiasi warna-warni kehidupanku. Pepi tidak selalu langsung ke kampus ketika akan berangkat ke kampus, namun mampir sejenak untuk menjemput seorang putri. “ Assalamualaikum.... Latifah... ” salamku ke rumah dengan pagar setinggi dadaku. “ Waalaikumsalam.. eh, nak Elang, tunggu sebentar ya” jawab ibu Latifah. “ Iya, ibu... “ jawabku. Seketika muncul sesosok wanita anggun, berjilbab, semampai keluar dari pintu rumah dan berpamitan dengan ibunya, dan dalam hati aku berkata “ Sungguh indah ciptaan yang kau berikan pada hambamu ini, ya Allah ”. Lalu mendatangiku, “ Nunggu lama ya? “ tanyanya halus. “ Gak ko sayang.. ayo langsung bernagkat “ jawabku langsung sambil menyodorkan jok bagian belakang ke arahnya. “ Bu kami berngkat dulu, ya... “ kataku. “ Iya, hati-hati..” jawab ibu Latifah dari depan teras. Wangi parfum Latifah sungguh khas, benar-benar “wanita”, candaku dalam hati. Dia adalah wanita yang bisa dibilang “softcopy” dari ibuku.

Ketika di perjalanan, ipeh sapaan akrabku bertanya tentang sesuatu yang jarang ia tanyakan “ Eyang...” panggilnya manja dengan mengganti salah satu huruf di ejaan namaku. “ Iya, peh.. kenapa? ” jawabku. “ Ayah kamu hari ini sidang? Kalau sidang gitu, dapet uang gak si yang? “ tanyanya polos. “ Tumben kamu tanya kaya gitu, kenapa? Mikirin apa hayo?” tanyaku usil. “ Hehe.. gak ko yang.. Cuma tanya kan sekarang lagi riuh tuh di tivi tentang anggota dewan dan permintaan yang kadang nyeleneh  “ tanyanya.  “ Wah, aku gak pernah ikut campur, itu urusan papa sayang.. Oya nanti aku cuma sampe jam sepuluh kelasnya, nanti kalau ada waktu kita makan bekal bareng ya.. ” jawabku yang berusaha mengalihkan pembicaraan yang agak aku kurang sukai. “ Ok, Burung Elang.. ” jawabnya. “ Huft ” pelan dari mulutku.

Setibanya di kampus, kami berpisah karena kami tidak satu jurusan, Latifah mengambil jurusan tata boga karena ia sangat suka memasak dan berkeinginan menjadi koki yang profesional, dan sudah terbukti masakannya sangat enak bila aku mampir ke rumahnya. Sambil berjalan menuju jurusan dalam hati masih agak sidikit kaget karena dia menanyakan hal yang menurut aku perkataannya agak menyudutkan atau akunya saja yang berlebihan menanggapi pertanyaanya, maklum mungkin sensitifitas mahasiswa jurusan bahasa Indonesia terhadap makna kalimat atu kata-kata  lebih peka dibanding jurusan lain. Namun, dalam hati mencoba berpikir positif, karena memang benar akhir-akhir ini anggota dewan yang terhormat tengah disorot karena tingkahnya yang nyeleneh dan beberapa skandal kasus mereka. Hanya Latifah yang mangetahui status ayahku sebagai anggota dewan.
Ayahku sebenarnya adalah seorang eksportir barang-barang kerajinan tangan ke negara-negara Eropa dan benua lainnya, bependidikan S1 politik, yang di tahun 2008 diajak oleh seorang teman kampusnya untuk bergabung menjadi kader di salah satu partai besar dan terkemuka di Indonesia, dan turun gunung untuk mencoba memakai ilmunya. Pada tahun 2009, ayahku terpilih sebagai legislatif baru dan duduk di Komisi X DPR. Bangga sekaligus takut, bangga karena ayah kita adalah pejabat pemerintahan yang diberi amanah oleh rakyat, takut karena seperti kita tahu pengadilan rakyat, juga kritik pedas dan tajam tentu harus siap diterimanya ketika ada hal yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Tapi, aku yakin dengan pengalaman dan mental baja ayahku dapat menjalankan amanah itu dengan baik, dan ayahku bukan bandit-bandit senayan.

Kuliah pun usai tepat pukul sepuluh, aku keluar ruangan lalu duduk di pendopo dekat jurusan dan seketika getaran HP memecah pikiran tegangku, “ Lang ke kantin ada anak-anak ” isi pesan singkat dari Iwan. “ Iya wan, cepet banget udah pada di kantin aja ” balasku. Sesampainya di kantin, teman-temanku seakan manyambutku, “ Lang, tadi anak dari FIS, ajakin aksi pertengahan Oktober nanti “ ungkap Iwan sambil duduk mengangkang dan rambut yang gimbal setenagh bahu. “Aksi tentang apa dulu ni? “ jawabku. “  Ya, kritik tentang kinerja DPR kan lagi hangat-hangatnya tuh ” jawab Adi, dengan gaya rambut mohak berjambul. Seketika tubuhku agak kaku dan enggan berkata-kata, karena aku tau yang aku akan kritik adalah ayahku sendiri, memang ada kesalahan pada diriku, dimana aku sama sekali tidak mau bertanya-tanya kepada ayahku tentang kinerjanya di DPR dan kegiatannya, karena aku takut menyinggung perasaannya. “ Lang? Lang kenapa diem? “ tanya Rara seorang wanita tomboi berparas cantik dengan jeans dan rambut pendeknya. “ Ah, gak Ra... lagi mikir aja.. hehe.. Tumben lu manis banget hari ini “ jawabku senyum-senyum. “ Eeh malah ngobrol, ikut gak ni lang? “ tanya Rudi yang dari semester 1 sudah aktif mengikuti aksi-aksi seperti ini. “ Kenapa lu lang? Bingung karna lo bakal kritik bokap lu sendiri? “ kata-kata mengagetkan muncul dari kejauhan dan semakin mendekat. Ternyata dia adalah Dion anak teknik mesin dengan kepala plontosnya, dia adalah teman satu SMA ku, dulu kami dekat, tapi semenjak dia ditolak Latifah dan Latifah lebih memilih aku, dia seakan menjauhiku dan terkesan sinis kepadaku. “ Jawab lang, iya kan? ” dia menyerbu ku  dengan pertanyaan-pertanyaan yang seakan ingin menghakimi ku di depan teman-temanku. “ Bokap lu anggota dewan, Lang? “ tanya ketiga temanku serentak. Aku memang menymbunyikan identitas ayahku, aku selalu bilang ayaku hanya seorang eksportir, dan mungkin memang tidak ada yang menyangka karena gaya hidupku yang jauh dari seorang anak pejabat yang selama ini penuh dengan dengan kesan glamour. “ Oya, gue ke Latifah dulu ya, tadi dia bilang ada yang mau diomongin dan udah janjian “ aku dengan jawaban yang berusaha ingin menghindar. “ Yaudah, ketua BEM jurusan kaya lu harus ikut pokoknya, apalagi tahun perdana”  tandas Rudi sambil menyemburkan asap filter ke udara. Seperti ada kesepakatan tidak tertulis di kampus kami jika seorang ketua BEM jurusan harus ikut mendukung aksi. “ Ok Rud, gampang lah, gue cabut dulu ya ” jawabku cepat sambil berjalan membelakangi mereka. 

Sesampainya di rumah, alangkah terkejutnya, aku melihat ibuku sedang menangis tersedu-sedu, “ Kenapa mah, mama kok nangis? ” tanyaku lembut. Ibuku seakan tidak manghiraukan pertanyaan ku dan terus sibuk dengan air matanya. “ Kenapa ma? “, lalu seketika ibu menyodorkan surat pemanggilan dari kejaksaan yang ditujukan kepada ayahku terkait kasus korupsi wisma untuk event olahraga di Palembang. Sungguh hati ini seperti terhunus pedang, dan disitu tertulis ayahku ditetapkan sebagai tersangka. Sungguh Oktober, yang pilu. “ Sekarang dimana Papa, mah? “ tanyaku. “ Ayahmu ke rumah kakekmu di Jogja untuk menenangkan dirinya sembari menunggu hari persidangan ”jawab ibuku tersedu-sedu. “ Sabar ya mah, Elang yakin papa bukan orang yang seperti ini, papa gak mungkin seperti ini ” jawabku. Malam yang sungguh tidak mengenakkan, keadaan rumah yang kalut. Sungguh tidak mengenakkan. Dan di beberapa media elektronik, nama ayahku mulai disebut-sebut. “ Sabar ya sayang... “ isi pesan singkat yang dikirim oleh Latifah pada malam itu. Dia terus menyemangatiku. “Iya terima kasih ya sayang “ balas ku setelah beberapa sms sebelumnya. 

Keesokan harinya, ada rapat kecil ututk membahas rencana aksi yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober, tanggal dimana ayahku Raden Sumantri Joko Sasongko, akan disidangkan. Sungguh ironi, entah apalah aku ini anak durhaka atau apa disaat orang tua duduk di kursi pesakitan, aku malah akan ikut mendemonya habis-habisan. Hasil rapat itu cukup mencengangkan karena akan ada gabungan dua puluh universitas dari seluruh Indonesia akan turun pada hari itu, dan di tempatkan pada lokasi-lokasi tertentu, salah satunya tempat diman ayahku akan disidangkan. Namun, pada hari itu, belum banyak orang yang tau jika ayahku namanya terseret pada suatu skandal. Dua hari sebelum aksi dimulai, ada rapat besar dan dihadiri perwakilan mahasiswa dari seluruh Indonesia, dan agenda menentukan kordinator setiap titik wilayah, alangkah terkejutnya, Dion menunjukku sebagai kordinator yang akan beraksi di depan kejaksaan bertepatan dengan persidangan, dia sengaja mengundurkan diri sebagai kordinator di titik itu. Sungguh orang yang kotor, pikirku. 

Akhirnya, hari persidangan dan hari H aksi tiba, aku yang berangkat pagi ke kampus belum bertemu dengan ayahku lagi semenjak dia pergi ke Jogja beberapa hari yang lalu. Dengan almamater dan perasaan bersalah aku pamit kepada ibuku,” Kamu gak mau lihat persidangan, lang? “ tanya ibuku sedih. “ Maaf mah, Elang ada urusan penting di kampus dan sudah janji, mungkin kalo ada sidang kedua, Elang pasti ikut, tapi semoga status tersangka papa cepat dicabut ya mah, Elang berangkat dulu mah, Assalamualaikum... ” , “ Ya sudah tidak apa-apa, nanti mama sama Om Wijono saja... Waalaikumsalam ” jawab ibuku. Jam sepuluh kami sudah siap di depan kejaksaan  dan orasi akhirnya dimulai ketika ayahku di sidang dan ibuku hanya ditemani oleh pamanku seorang, dan sekarang orang yang aku banggakan sedang dikritik habis-habisan oleh anaknya sendiri. Dalam hati ini kecewa sekaligus berdoa semoga sangkaan ini salah, dan berusaha bersikap profesional di depan teman-teman yang ikut aksi. 

Pukul empat sore aksi pun selesai, dan aku memutuskan untuk lansung kembali ke rumah, untuk langsung meminta maaf kepada kedua orang tuaku. Sesampainya di rumah, terlihat ada sedikit rona cerah di wajah ibuku yang beberapa hari ini tampak kusam karena kesedihan ini. Lalu dari kamar keluar sosok pria seraya memanggilku “ Elang..”, “ Iya pah... “ jawabku. Lalu ayahku duduk disebelah ibuku, dan mengucapkan maaf apabila nama baik keluraga agak sedikit tercoreng, tapi ayah menjelaskan kalau status hukumnya sebagai tersangka turun sebagai saksi. Dalam persidangan tidak ada keterangan yang memberatkan ayah atau bukti yang menguatkan ayah, kalau ayah terseret dalam kasus wisma olahraga. Mungkin ini yang membuat rona cerah kembali ke ibuku. “ Maafin Elang juga ya pah, Elang tadi tidak bisa hadir di persidangan, Elang malah mendemo papa, ketika papa duduk di kursi itu “ ungkapku takut sambil memegana tangan ayahku. “ Iya, nak sudah lah, papa tau kamu juga pasti kecewa, sudah yah ” jawab ayahku. “ Maafin Elang juga ya mah, tadi bohong sama mama “ , “ Ya sudah Lang, tidak apa-apa, lain kali jadi pembelajaran ya bukan cuma buat papa tapi, juga buat kamu “  sambil mengusap-usap kepalaku. “ Elang dari awal yakin kalo papa gak mungkin ikut-ikutan kaya gitu, papa selalu ajarin Elang makna-makna kehidupan yang baik gak mungkin papa malah mencorengnya, iya kan pa? “ tanyaku. “ Iya, Lang “ jawab ayahku.

            “ Makasih ya sayang ada terus buat aku, disaat hati resah.. hehehe, papaku sekarang cuma sebagi saksi sayang...” isi pesan singkat yang ku kirim ke Latifah. “ Iya, sayang.. aku selalu di sisimu.. hehehe” jawabnya. Lega rasanya, sedikit beban berkurang, dan mulai sekarang aku tidak menyembunyikan identitas ayahku lagi sebagai anggota DPR, karena ku tau ayahku adalah anggota dewan yang terhormat dan memegang amanah rakyat, dan tidak semua anggota dewan itu rusak, contiohnya ayahku. Karena Dia adalah Ayahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih..