Halaman

Andika Wiranata

Rabu, 18 Juli 2012

Contoh Artikel Argumentatif


Era Tawuran
Oleh : Andika Wiranata
Kata “tawuran” sangat identik sekali dengan masyarakat kita. Bukan hanya tawuran antar pelajar, tapi  antar remaja, antar TNI vs Polri, pedagang kaki lima dengan Satpol PP. Apakah bangsa kita, bangsa yang menanamkan kekerasan dalam kehidupannya? Mengapa sekarang semua orang seakan membenarkan penyelesaian masalah harus dengan kekerasan? Sungguh ini suatau ironi, yang harus kita hadapi sebagai bangsa yang bermartabat. Mereka semakin anarki, dengan embel-embel nama geng mereka. Lalu semakin bangga, apabila orang-orang takut dengan geng mereka, tanpa mereka sadar perbuatan itu mengganggu ketenangan masyarakat dan sungguh perilaku moral seorang manusia yang primitif. Inilah, Indonesia  kini memasuki era “tawuran”.
Sebelum lebih jauh, kita harus mengetahui pengertian dari tawuran. Menurut KBBI edisi keempat, tawuran, dari kata tawur didefinisikan sebagai perkelahian beramai-ramai, perkelahian massal. Tawuran merupakan salah satu dari kenakalan remaja, kenakalan remaja sendiri menurut Kartono, seorang ilmuwan sosiologi, “Kenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang”. Lalu menurut Santrock, Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal”. Penulis berkesimpulan tentang definisi dari tawuran, tawuran adalah istilah masyarakat Indonesia, untuk kenakalan remaja yang pelakunya melakukan tindak kekerasan dengan berkelahi beramai-ramai atau massal dan biasanya memiliki satu tujuan kelompok dengan menyerang kelompok atau rumpun lain.
Penyebab tawuran  beragam, mulai dari hal sepele sampai hal-hal serius yang menjurus pada tindakan kekerasan dan bentrokan.  Tawuran akhir-akhir ini melekat sekali dengan citra seorang pelajar, yang seharusnya tidak melakukan hal yang tercela ini. Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam kesumat lalu dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut ingin membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa dari sekolah lain yang dianggap tidak menyenangkan salah satu pihak seperti, pemalakan, salah paham atau perang mulut yang awalnya hanya sebuah candaan atau hanya saling pandang, lalu terjadi salah paham yang menjadi awal perkelahian antar pelajar atau tawuran.
Bila dilihat secara mendalam penyebab tawuran adalah tingkat stres siswa yang cukup tinggi karena materi pendidikan di Indonesia cukup berat. Lalu ditinjau dari aspek psikologis, tawuran antar pelajar ini dapat terjadi karena ada situasi yang mengharuskan mereka menyelesaikan suatu permasalahan dengan cepat yang memaksa mereka harus berkelahi, lalu juga situasi dalam kelompok atau geng mereka, yang terdapat norma, kebisaan,  atau aturan yang mengharuskan mereka berkelahi, dan menimbulkan suatu kebanggaan apabila mereka melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Stigma bahwa tawuran itu lelaki juga mencengkram kuat dalam pemikiran para pelajar. Juga banyaknya waktu luang atau libur yang dimiliki siswa diduga juga menjadikan tawuran sebagai suatu kegiatan “sampingan” mereka. Terlebih ketika Ujian Nasional selesai, banyak siswa yang melakukan tawuran dan menyebutnya sebagai “tawuran terakhir”.
            Faktor yang menyebabkan tawuran sebernarnya dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah adaptasi remaja pada situasi lingkungan yang mempunyai keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak atau disebut kompleks. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasinya, apalagi memanfaatkan situasi ini untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang/pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah yaitu, salah satunya dengan cara berkelahi. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan. Krisis identitas tepatnya, dimana mereka tidak berhasil dalam proses pembentukan peran, lalu disertai juga dengan kontrol diri yang lemah menyebabkan mereka mudah untuk terseret ke area “nakal” remaja.
            Faktor eksternal, diantaranya adalah faktor keluarga. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi anak (Hawari, 1997). Lalu menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994), tawuran antar pelajar terjadi karena anak sering melihat kekerasan dalam keluarganya, lalu anak yang terlalu dilindungi keluarganya, ketika dia menemukan suatu kelompok, dia menyerahkan dirinya penuh pada kelompok tersebut.  Rumah seharusnya menjadi tempat untuk berkumpul, bercengkrama, berdiskusi dengan semua keluarga.  Bayangkan ketika siswa pulang ke rumah, orang tuanya tidak ada, lalu siswa tersebut dapat nilai kecil, ketika orang tua pulang lalu dimarahin orang tua. Apa rumah itu hanya dijadikan tempat singgah aja, tidak ada aktivitas saling berbagi di dalamnya? Ini faktor yang menyebabkan siswa mencari “kehidupan lain” di luar rumah.
Selanjutnya faktor sekolah, bagi Durkheim, sekolah mempunyai fungsi yang sangat penting dan sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (Emile Durkheim, L’education Morale ( Paris : Libraire Felix Alean, 1925 : 68). Untuk itu dibutuhkan sekali keselarasan antara harapan masyarakat dengan sistem pengajaran. Sekolah untuk lingkungan masyarakat militer harus berbeda dengan cara pengajaran di sekolah yang memperuntukkan anak didiknya untuk dunia industri. Sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan, dan kualitas sarana dan prasarana seperti, halaman, lapangan tempat bernmain juga harus mendukung serta, guru harus menjadi motivator serta, membuat suasana belajar hidup agar siswa tidak melakukan aktivitas di luar bersama teman-temannya. Lalu juga ada faktor lingkungan, lingkungan yang tidak berkembang dan tidak mendukung pendidikan, rumah-rumah yang berhimpit, lalu juga lingkungan yang penuh dengan kriminalitas serta, lingkungan yang tidak menerima eksistensi para remaja juga menjadi salah satu faktor pemicu seorang pelajar atau remaja melakukan perbuatan-perbuatan anarki. Dalam pencarian jati diri mereka perlu adanya pengakuan diri.
Dampak dari tawuran itu sendiri dapat dilihat dari aspek fisik, tawuran dapat menyebabkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan yang parah pada kendaraan, kaca gedung, rumah atau rusaknya fasilitas umum yang terkena lemparan batu atau benda lain saat terjadi tawuran. Sedangkan aspek mentalnya, tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia, dan kekahawtairan para pendidik akan hilangnya moral juga sikap toleransi di diri siswa mereka, dimana semua dinilai harus diselesaikan dengan cara tawuran dan kekerasan.
Kasus-kasus tawuran antar pelajar ini harusnya dapat diatasi apabila kita menemukan suatu solusi yang tepat untuk permasalahan ini. Berperilaku sopan, baik, adil dan tidak merendahkan orang lain, lalu menyelesaikan setiap masalah harus dengan mencermati bagaimana terjadinya masalah dan dengan cara yang baik, berpendapat dengan baik, menyadari akan bahayanya pada saat tawuran bagi diri sendiri dan masyarakat. Dasarnya tentu harus dari keluarga, keluarga harus menjadikan kondisi rumah yang baik dan nyaman bagi anak serta, orang tua harus menjaga emosi anak, agar anak selalu merindukan rumah dan yang penting buatlah keluarga yang bahagia untuk masa depan yang baik.
Setelah keluarga, peran sekolah dengan memperketat peraturan agar tidak ada siswa yang pergi pada saat jam pelajaran juga harus dilakukan. Lalu sekolah juga mengadakan kegiatan-kegaitan yang menyalurkan energi siswa seperti, lomba-lomba olahraga atau kesenian, agar siswa tidak mempunyai terlalu banyak waktu kosong yang dapat dijadikan waktu untuk tawuran. Juga peran Bimbingan Koseling harus ditingkatkan dan lebih diaktifkan lagi, agar dapat dijadikan salah satu tempat siswa mencari solusi dari permasalahannya. Lalu peran aparat penegak hukum, agar memberi hukuman yang sesuai, agar mereka yang melakukan tawuran jera dan tidak mengulanginya lagi.
Selanjutnya, dari diri remaja itu sendiri juga harus pandai memilih teman dan lingkungan serta, harus memiliki ketahanan diri terhadap segala hal yang negatif. Lalu yang terpenting dari itu semua adalah pendidikan agama yang mampu membentuk moral seseorang agar tidak melakukan hal yang negatif termasuk tawuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih..